IDXChannel – Saham emiten sektor minyak dan gas (migas) terkoreksi pada Selasa (17/6/2025) seiring aksi ambil untung (profit taking) usai dalam tren naik belakangan ini.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 11.52 WIB, saham PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) melemah hampir 5 persen, yakni 4,94 persen ke Rp308 per unit, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) tergerus 4,91 persen, dan PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU) turun 4,38 persen.
Kemudian, saham PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEX) melorot 3,88 persen, PT Elnusa Tbk (ELSA) berkurang 3,14 persen, dan PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) menyusut 2,82 persen.
Demikian pula, saham PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) yang terdepresiasi 1,17 persen dan Radiant Utama Interinsco Tbk (RUIS) yang memerah 0,57 persen.
Harga minyak mentah turun tajam pada Senin (16/6/2025) setelah muncul laporan bahwa Iran tengah mencari jalan damai dengan Israel.
Kabar ini memunculkan kemungkinan gencatan senjata dan meredakan kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah.
Kontrak berjangka (futures) Brent ditutup melemah 1,35 persen, ke level USD73,23 per barel. Sementara itu, kontrak West Texas Intermediate (WTI) AS merosot 1,66 persen menjadi USD71,77 per barel.
Reuters melaporkan, Iran telah meminta Qatar, Arab Saudi, dan Oman untuk mendorong Presiden AS Donald Trump menggunakan pengaruhnya terhadap Israel agar menyetujui gencatan senjata. Sebagai gantinya, Teheran menyatakan siap bersikap lebih fleksibel dalam negosiasi terkait program nuklirnya. Sebelumnya, The Wall Street Journal juga memberitakan bahwa Iran tengah mengupayakan kesepakatan damai.
Analis Mizuho, Robert Yawger, mengatakan para pelaku pasar mulai mengurangi taruhan bahwa serangan udara dari kedua belah pihak akan berkembang menjadi perang regional yang bisa mengancam infrastruktur energi.
Pada Jumat pekan lalu lalu, harga minyak melonjak lebih dari 7 persen setelah Israel meluncurkan serangan udara ke Iran, menyusul tuduhan bahwa Teheran hampir berhasil mengembangkan bom atom.
Namun, lonjakan tersebut menempatkan minyak di wilayah “overbought” secara teknikal, yang biasanya diikuti oleh koreksi harga.
Analis energi dan pendiri Commodity Context, Rory Johnston, menyebut bahwa kenaikan tajam itu sebagian besar didorong oleh masuknya aliran dana spekulatif. “Saat pasar berada dalam posisi seperti ini, sangat rentan terhadap aksi jual tajam,” ujar Johnston.
Kendati Israel dan Iran telah saling meluncurkan serangan, termasuk ke infrastruktur energi, fasilitas ekspor minyak utama belum terkena dampaknya. “Israel belum menyentuh Pulau Kharg, dan itu yang menjadi fokus saat ini,” kata Yawger, merujuk pada pusat ekspor minyak utama Iran. Ia menambahkan, jika Kharg diserang, harga minyak bisa melonjak ke kisaran USD90 per barel.
Kepala riset di Onyx Capital Group, Harry Tchilinguirian, menambahkan, “Semua tergantung pada bagaimana konflik ini berkembang terkait aliran energi.” Hingga kini, kapasitas produksi dan ekspor minyak belum terganggu, dan Iran pun belum mengambil langkah untuk menghambat arus minyak melalui Selat Hormuz.
Sementara itu, gangguan elektronik terhadap sistem navigasi kapal dagang dilaporkan meningkat di sekitar Selat Hormuz dan wilayah Teluk dalam beberapa hari terakhir, menurut laporan angkatan laut setempat, yang menilai kondisi ini mulai memengaruhi pergerakan kapal-kapal yang melintas.
Sekitar seperlima konsumsi minyak global, atau sekitar 18 hingga 19 juta barel per hari termasuk kondensat dan bahan bakar, melewati Selat Hormuz.
Iran, anggota OPEC, saat ini memproduksi sekitar 3,3 juta barel per hari dan mengekspor lebih dari 2 juta barel per hari minyak dan bahan bakar. Kapasitas cadangan OPEC+ untuk meningkatkan produksi sebagai kompensasi terhadap potensi gangguan pasokan saat ini dinilai setara dengan output minyak Iran, menurut sejumlah analis dan pengamat OPEC. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.