IDXChannel - Komoditas nikel menjadi sorotan para investor karena masih digenjot dalam program hilirisasi pemerintah. Beberapa saham emiten nikel berpotensi cuan di tengah dinamika pasar nikel yang penuh gejolak.
Risiko muncul ke permukaan saat Shanghai Metals Market (SMM) merevisi turun estimasi pasar nikel untuk 2024 karena persediaan Nickel Pig Iron (NPI) merosot di tengah menumpuknya pasokan bijih nikel dari Indonesia.
Di sisi lain, produksi baja nirkarat (stainless steel) China tetap tinggi, meskipun permintaan pasar rendah dan penumpukan persediaan.
“Ini menjelaskan mengapa harga NPI lemah, saat persediaan NPI terus turun selama sembilan bulan 2024,” tulis riset BCA Sekuritas bertajuk "Nickel Sector: It’s Cheap but Comes with a Risk", ditulis Jumat (24/1/2025).
Analis BCA Sekuritas, Muhammad Fariz mengestimasi produksi stainless steel pada Januari 2025 akan lebih rendah dibandingkan Desember 2024. Beberapa pabrik disebut memilih melakukan pemeliharaan atau memangkas produksi, akibat permintaan yang lemah sebelum Imlek.
“Memang permintaan belum begitu kuat, sementara harga baja tahan karat terus turun ke level terendah dalam empat tahun. Ini diikuti harga NPI,” tutur Fariz.
Sementara itu, potensi pemangkasan kuota tambang oleh pemerintah Indonesia pada 2025 menjadi faktor yang perlu dicermati.
Hal ini dinilai dapat memberikan dukungan harga dalam jangka pendek, tetapi bisa menjadi tantangan bagi smelter dalam mendapatkan pasokan bijih murah.
Memilih Saham Potensial
Secara sektoral, BCA Sekuritas masih memasang rating ‘Underweight’ terhadap sektor nikel. Sejumlah emiten nikel yang dinilai prospektif meliputi PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL).
“Karena sektor ini masih menunjukkan lampu kuning dan merah, dan belum ada peningkatan substansial pada permintaan,” kata Fariz
BCA Sekuritas menyesuaikan asumsi harga rata-rata nikel London Metal Exchange (LME) dan NPI untuk 2025-2026 menjadi USD17.000 per ton dan USD13.418 per ton. Hal ini berdampak pada revisi target pendapatan dan laba bagi ketiga emiten:
Pendapatan dan laba direvisi naik untuk 2024-2026. Pendapatan masing-masing periode tumbuh sebesar 45,5 persen di 2024, pada 2025 sebesar 54,6 persen, dan 54,7 persen di 2026.
Sedangan labanya naik 32,1 persen di 2024, sebesar 62,8 persen di 2025, dan 30,1 persen pada 2026. Fokus pada penjualan bijih nikel dan emas menjadi keunggulan utama.
Target harga dinaikkan menjadi Rp2.710 per saham.
Revisi pendapatan untuk 2024 turun 2,2 persen, lalu naik 16,2 di 2025, dan naik 40,7 persen pada 2026. Sedangkan laba INCO turun 38,4 persen di 2024, naik 6,5 persen di 2025, dan naik 9,8 persen di 2026.
Meski ada risiko ekspansi, target harga dipatok lebih rendah menjadi Rp4.260 per saham.
Pendapatan perseroan direvisi yakni naik 14,1 persen di 2024, turun 2,5 persen di 2025, dan turun 2,7 persen pada 2026. Sedangkan labanya diprediksi tumbuh 25,6 persen pada 2024, turun 0,5 persen di 2025, dan turun 10,9 persen di 2026.
Risiko pada margin kas dan profitabilitas produk NPI menjadi faktor utama. Target harga disesuaikan menjadi Rp770 per saham.
(Fiki Ariyanti)